Predatory pricing adalah salah
satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk
dengan harga dibawah biaya produksi (average cost atau marginal cost). Adapun
tujuan utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing
dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk
masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha
pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru,
maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan
yang mungkin didapatkan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku
usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang
akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator.
Terdapat dua syarat pendahuluan sebelum melakukan predatori yaitu; pertama,
pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua,
keuntungan setelah predatori akan melebihi kerugian selama masa predatori.
Menurut R. Sheyam Khemani,
Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang
terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di
masa yang akan datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya
dan menaikan harga.Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan praktek
predatory pricing, namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga,
maka mungkin tidak akan terjadi predatory pricing yang bertentangan dengan
hukum.Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat. Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai predatory pricing
dirumuskan secara rule of reason,
maka sesungguhnya dapat dikatakan sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
dibawah harga pasar, asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat atau pelaku usaha tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat
diterima.
Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi adalah antara William
Inglis & Son Co. vs. ITT Continetal Baking Co. Kasus ini diajukan oleh
Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan persaingan
dengan jalan menjual rugi roti dengan private
label miliknya dibawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan
Inglis bankrut. Sebaliknya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan
kompetisi secara ketat. Harganya adalah
dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas dalam
industri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak melanggar Hukum
Persaingan. Ninth Circuit (Pengadilan Banding) menyatakan bahwa apabila harga dari
terlapor adalah dibawah harga total rata-rata, tetapi diatas biaya tidak tetap rata-rata,
maka pelapor/ penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harga dari
terlapor adalah predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga
Terlapor adalah dibawah harga tidak tetap rata-rata, maka Terlapor mempunyai
kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal terlepas
dari akibatnya terhadap pesaing.
Predatory pricing ini tidaklah
selalu bertentangan dengan hukum. Harus dibedakan dengan persaingan sempurna
atau persaingan yang sangat ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi
sebenarnya adalah persaingan yang sangat kompetitif.
Strategi predatory pricing hanya
bisa berlaku jika perusahaan pesaing baru sulit muncul dan pesaing yang sudah
mati sulit bangkit lagi dalam industri tersebut. Jika tidak, ini adalah
strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru mudah muncul, atau pesaing lama mudah
bangkit lagi, sang predator perlu terus menerapkan harga “jual-rugi”. Semakin
lama “jual-rugi” dilakukan, semakin dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.
secara garis besar teknik ini dilaksanakan dalam tiga tahap:
1. Perusahaan
A memberikan harga yang rendah atas produk/jasa yang dia produksi dengan tujuan
memperoleh sebanyak mungkin konsumen sehingga perusahaan pesaingnya (B,C, D)
akan tertekan. meskipun sebenarnya perusahaan A merugi.
2. Ketika
perusahaan pesaing (B, C, D) sudah tidak mungkin lagi dapat menggarap pasar
karena pangsa pasar yang tersisa sudah sangat sedikit, maka dalam pasar
tersebut tinggal satu perusahaan saja yang sangat dominan (perusahaan A).
3. Ketika
sudah tidak ada lagi pesaing yang berarti (signifikan) maka perusahaan A akan
menaikan harga barang/jasa, sehingga dapat menutup kerugian yang dialami pada
tahap 1.
Kebijakan pricing seperti itu
tentu akan merugikan dunia usaha dan tentu saja konsumen. kerugian yang
ditimbulkan adalah sebagai berikut:
a. Dominasi
pasar oleh satu/lebih pelaku usaha akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan
pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar, sehingga secara makro akan
menghambat investasi
b. Konsumen
tidak memiliki cukup pilihan atas barang/jasa yang ditawarkan dalam suatu pasar
c. Pelaku
usaha yang dominan akan menentukan harga secara sewenang-wenang/tidak wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar