Senin, 10 Desember 2012

CONTOH KASUS PREDATORY PRICING


Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi  (average cost atau marginal cost). Adapun tujuan utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator. Terdapat dua syarat pendahuluan sebelum melakukan predatori yaitu; pertama, pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua, keuntungan setelah predatori akan melebihi kerugian selama masa predatori.
Menurut R. Sheyam Khemani, Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga.Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing, namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, maka mungkin tidak akan terjadi predatory pricing yang bertentangan dengan hukum.Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai predatory pricing dirumuskan secara rule of reason, maka sesungguhnya dapat dikatakan sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau pelaku usaha tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.
Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi adalah antara William Inglis & Son Co. vs. ITT Continetal Baking Co. Kasus ini diajukan oleh Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan persaingan dengan jalan menjual rugi roti dengan private label miliknya dibawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan Inglis bankrut. Sebaliknya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan kompetisi secara ketat. Harganya adalah
dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas dalam industri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak melanggar Hukum Persaingan. Ninth Circuit (Pengadilan Banding) menyatakan bahwa apabila harga dari terlapor adalah dibawah harga total rata-rata, tetapi diatas biaya tidak tetap rata-rata, maka pelapor/ penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harga dari terlapor adalah predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga Terlapor adalah dibawah harga tidak tetap rata-rata, maka Terlapor mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal terlepas dari akibatnya terhadap pesaing.
Predatory pricing ini tidaklah selalu bertentangan dengan hukum. Harus dibedakan dengan persaingan sempurna atau persaingan yang sangat ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi sebenarnya adalah persaingan yang sangat kompetitif.         
Strategi predatory pricing hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing baru sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu terus menerapkan harga “jual-rugi”. Semakin lama “jual-rugi” dilakukan, semakin dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.
secara garis besar teknik ini dilaksanakan dalam tiga tahap:
1.      Perusahaan A memberikan harga yang rendah atas produk/jasa yang dia produksi dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin konsumen sehingga perusahaan pesaingnya (B,C, D) akan tertekan. meskipun sebenarnya perusahaan A merugi.
2.      Ketika perusahaan pesaing (B, C, D) sudah tidak mungkin lagi dapat menggarap pasar karena pangsa pasar yang tersisa sudah sangat sedikit, maka dalam pasar tersebut tinggal satu perusahaan saja yang sangat dominan (perusahaan A).
3.      Ketika sudah tidak ada lagi pesaing yang berarti (signifikan) maka perusahaan A akan menaikan harga barang/jasa, sehingga dapat menutup kerugian yang dialami pada tahap 1.
Kebijakan pricing seperti itu tentu akan merugikan dunia usaha dan tentu saja konsumen. kerugian yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:
a.       Dominasi pasar oleh satu/lebih pelaku usaha akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar, sehingga secara makro akan menghambat investasi
b.      Konsumen tidak memiliki cukup pilihan atas barang/jasa yang ditawarkan dalam suatu pasar
c.       Pelaku usaha yang dominan akan menentukan harga secara sewenang-wenang/tidak wajar.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar